http://i55.tinypic.com/1262osp.jpg Perceraian

ADI AGEN RESMI CMP

ADI AGEN RESMI CMP

Kamis, 24 Maret 2011

Perceraian

Tulisan ini terinspirasi dari laporan Marzuqi A. haris (wartawan Radar Bromo) tentang maraknya perceraian di Kabupaten Probolinggo hari selasa, 20 Pebruari 2007. Tulisan tersebut memuat data dan latar belakang peristiwa yang memicu tingginya kasus perceraian, hingga sehari PA bisa menggelar 15 sidang perceraian. Tulisan ini diharapkan menjadi ruang dialog untuk membicarakan kasus perceraian yang merisaukan penulis.

Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Namun realitas menunjukkan angka perceraian kian meningkat. Adanya tekanan sosial di masyarakat (social pressure) bahwa bercerai bukan merupakan hal yang tabu atau aib di masyarakat, bercerai sudah menjadi hal yang biasa. Bercerai adalah hal yang halal tetapi di benci oleh Allah SWT. Bercerai menimbulkan masalah sosial bagi kelangsungan hidup anak-anak dan orang tua. Perceraian merobohkan tiang rumah tangga. Kepercayaan antar pasangan semakin rapuh dan rusak.

Angka perceraian di kabupaten Probolinggo tergolong tinggi, angka perceraian tercatat di PA Kabupaten Probolinggo pada Desember 2006, terdapat 123 kasus perceraian. Sedangkan januari 2007 mencapai 120 kasus. Untuk bulan pebruari 2007 angka perceraian tetap tinggi. (Radar Bromo, 20/02/2007). Penelitian Goleman di Amerika, menyebutkan dari 10 orang pasangan menikah, hanya 3 pasangan saja yang mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Dari bukti tersebut, krisis perkawinan berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hal yang ditengarahi menjadi polemik yang memicu keretakan rumah tangga adalah tidak adanya kecerdasan emosi dalam memahami perasaan pasangan.

Menurut Herani, seorang panitera, setiap hari PA menggelar sidang cerai. Biasanya setiap senin, PA menggelar 15 kasus sidang cerai. Sedangkan hari-hari lain, sidang cerai dibawah angka sepuluh. (radar bromo, 20/02/2007). Masih menurut Panitera tersebut, paling banyak yang mengajukan perceraian, pasangan usia dibawah umur 30 tahun. Penyebab perceraian dilatarbelakangi karena pernikahan di bawah umur dan persoalan ekonomi. Fakta tingginya angka perceraian merupakan rapuhnya pondasi rumah tangga di masyarakat. Mengapa masyarakat sedemikian mudah mengajukan gugatan cerai, setelah mereka mengadakan perjanjian suci dengan Tuhan (baca: akad nikah) ?. Pertanyaan ini menggelitik penulis untuk sejenak merenungi fenomena perceraian yang kian marak terjadi.

Pembajakan Emosi (Hijacking)

Melongok penyebab maraknya gugatan cerai kebanyakan dipicu oleh persoalan sepele, kemudian dibesar-besarkan. Misalnya seorang suami menggugat cerai istrinya hanya karena si istri menggunakan HP milik suami tanpa ijin, kemudian suami menuduh istri menelpon laki-laki bukan muhrim tanpa sepengetahuan suami, Suami marah dan melakukan gugatan cerai ke PA. Contoh ini, adalah sebagian kecil masalah emosi yang menimbulkan prasangka buruk secara terus menerus menyebabkan perceraian. Pasangan tersebut dibajak emosi. Masalah emosi pasangan antara laki-laki dan perempuan berbeda, dikarenakan oleh akar pada masa kanak-kanak.

Akar masa kanak-kanak laki-laki dan perempuan tidak sama. Anak-anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dalam hal permainan yang mereka sukai, pola pendidikan emosi, hal bermain, rasa bangga, dan pokok pembicaraan. Anak laki-laki menyukai permaian yang berhubungan dengan ketangkasan, kemandirian, saling bersaing, bertahan sedangkan perempuan cenderung bekerjasama, pokok pembicaraan perempuan berhubungan dengan emosi, keterampilan bahasa. Sedangkan laki-laki banyak membicarakan tentang kemandirian, dan rasa bangga pada hal-hal yang berhubungan dengan ketangkasan, kompetisi, dan kekuatan yang dimiliki.

Laki-laki dan perempuan berbeda dalam menghendel masalah emosi masing-masing. Hal yang rawan bagi laki-laki ialah laki-laki cenderung mempertahankan ego dan harga diri mereka, dan tidak kuat dikritik istri secara terus menerus, bersikap membisu atau defensif. Hal yang rawan bagi perempuan cenderung emosional, suka mengkritik dan menangis. Sikap yang berbeda tersebut kerapkali memicu pertengkaran apabila tidak memiliki kecerdasan emosi untuk mengerti perasaan masing-masing pasangan.

Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan, perselisihan yang terus menerus menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang. Pertengkaran hanya menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan. Pertengkaran yang meluap-luap akan menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus memicu perceraian. Sementara perselisihan yang berakhir dengan baik dengan menyadari dan mengetahui perasaan masing-masing, bersikap empati dan mau memaafkan kesalahan pasangannya.


Penyebab perceraian juga dipicu maraknya pernikahan di bawah umur. Pernikahan di bawah umur membuat mereka belum siap mengatasi pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai. Pernikahan adalah memerlukan kesatuan tekad, kepercayaan dan penerimaan dari setiap pasangan menjalani mahligai perkawinan. Ketidaksiapan pasangan tentu berhubungan dengan tingkat kedewasaan, mengatasi persoalan yang terkait dengan kehidupan, seperti keuangan, hubungan kekeluargaan, pekerjaan setiap pasangan. Cara mereka berpikir, bertindak menentukan cara mereka mengambil keputusan dalam hidup. Menikah di bawah umur yang disertai pendidikan rendah menyebabkan tidak dewasa.

Mengatasi Perselisihan

Bagaimana mengelola perselisian yang berakhir dengan baik?. Setiap pasangan bagaikan musuh dalam selimut (intimate enemous). Suami istri adalah dua pribadi yang berbeda, dan berusaha hidup selaras dalam keutuhan rumah tangga. Untuk itu dibutuhkan banyak rasa saling mengerti perasaan pasangan. Hal ini dilakukan dengan cara :

Pertama, menenangkan diri dilakukan guna meredam emosi impulsif. Menenangkan diri dilakukan dengan cara, misalnya relaksasi, yoga, bersilaturrahmi, mendatangi tempat-tempat rekreasi, mengheningkan diri dalam doa-doa, berdzikir (mengingat Allah SWT), melakukan shalat sunnah, dan membaca al-Qur’an (kitab suci). Menenangkan diri juga akan menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah, membersihkan racun-racun emosi yang membajak hati. Dengan menenangkan diri membuat orang sejenak merenung dan mencari inspirasi serta mendengarkan kata hati. Orang yang tenang tidak akan mudah terbawa emosi pertengkaran. Sebaliknya, dengan menenagkan diri, akan mengakhirkan perselisihan dengan menyadari kesalahan masing-masing.

Kedua, dilaog batin dilakukan dengan berbicara dengan batin, mengenai apa yang diinginkan dan mengapa keinginan itu tidak terpenuhi serta bagaimana mengatasi realitas menurut diri. Dialog batin perlu dilakukan guna membersihkan pikiran-pikiran irasional. Dialog batin dengan mendengarkan hati nurani dan akal pikiran akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh pasangan.

Ketiga, mintalah nasehat perkawinan. Setiap pasangan perlu mencari penasehat untuk membantu mengatasi persolan rumah tangga yang sudah akut. Mendatangi para tokoh agamawan, para guru, atau para konselor perkawinan akan membantu mencari alternatif dari perselisihan yang dihadapi. Nasehat perkawinan juga bisa dilakukan dengan membaca buku-buku yang berguna tentang hakekat perkawinan dan tujuan hidup pasangan. Nasehat perkawinan juga diperoleh dari contoh atau teladan para keluarga sejahtera, misalnya dengan cara saling berkunjung dan bertukar pengalaman dengan sesama teman atau sahabat dalam mengatasi konflik rumah tangga. Nasehat perkawinan yang diperoleh dari teman, sahabat atau ahli akan menguatkan kembali jiwa yang krisis. Nasehat perkawinan bisa menjadikan tempat konsultasi para pasangan yang tengah berkonflik.

Keempat, mendengar dan berbicara secara terbuka dengan pasangan. Saling mendengarkan keluhan pasangan, mencoba memahami jalan pikiran masing-masing akan membuat saling pengertian. Mendengarkan pasangan adalah perlu dalam sebuah relasi keluarga. Setiap orang ingin didengarkan oleh pasangan tentang kerisauan-kerisauan mereka yang bergejolak. Saling berbicara secara terbuka tentang masalah yang jumpai oleh setiap pasangan, bukan membicarakan tentang kepribadian. Karena kepribadian tidak bisa di rubah. Membicarakan kepribadian negatif masing-masing hanya akan memicu setiap pasangan menjadi merasa ditolak, tidak dicintai dan dipersalahkan. Untuk itu dalam membicarakan perlu mempertimbangkan, apakah hal yang dibicarakan tidak menyinggung kepribadian (baca:bawaan) pasangan?. Bagaimana perasaan pasangan apabila saya mengatakan hal ini?. Jika setiap pasangan mampu menimbang rasa maka akan terjadi pembicaraan yang terbuka, penuh rasa percaya dan meningkatkan rasa cinta. Indah bukan?




Oleh: Najlah Naqiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar