http://i55.tinypic.com/1262osp.jpg Kisah Nyata Orang Yang Memiliki Jiwa Besar

ADI AGEN RESMI CMP

ADI AGEN RESMI CMP

Rabu, 19 Januari 2011

Kisah Nyata Orang Yang Memiliki Jiwa Besar


Oleh sebab itu kami ambil contoh dari para pendahulu umat yang sholeh agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut. Dan agar kita dapat mengukur seberapa jauh akhlak kita dibanding dengan akhlak mereka. Yang paling penting adalah kita merubah akhlak kita tidak perlu kita melihat contohnya dari siapa. Artinya walaupun contohnya bukan dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang paling penting adalah kita mencoba merubah akhlak kita.Banyak sekali contoh dari para umat terdahulu yang sholeh yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini tidak digunakan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagi contoh karena beberapa sebab. Pertama adalah bahwa akhlak Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah akhlak Al-Quran, sebagaimana yang disampaikan oleh Ummul Mu’minin A’isyah  RadhiAnha كَانَ خُلقُهُ القُرْاَنَ  ”sunguh akhlak beliau (Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam) adalah al-Quran.” Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliaulah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Sebab kedua agar orang tidak beralasan bahwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dapat bersifat lapang dada dan berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala,  telah disucikan dari bagian setan, telah dibersihkan dadanya dari bagian-bagian syaitan ketika beliau masih kecil dan ketika isra’ dan mi’raj. Hal ini kemudian dijadikan alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya.
Cobalah kita menguji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, berbeda dalam aqidah, berbeda dalam manhaj, apakah sikap setiap kita sepeti yang dicontohkan oleh para pendahulu umat yang sholeh? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan ahlusunnah wal jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut.  “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.”(QS. Al Mujaadilah:22).
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal syaiyi’ (amal yang tidak baik), yang terkumpul di dalamnya subhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, terkumpul di dalamnya kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak di-wala’ 100% dan juga tidak di-baro’ 100% . Kita tidak baro’ 100% dan tidak juga wala’ 100% untuk orang seperti ini karena aqidah ahlusunnah wal jama’ah dalam masalah seperti ini kita mencintai seseorang sesuai dengan kadar keimanannya dan itiba’nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai dengan kadar penyimpangannya dari syariat ini.
Inilah yang kadang-kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah terhadap orang lain yang berbeda. Yang seharusnya diberikan sikap yang menjadi aqidah ahlusunnah wal jama’ah terhadap orang yang didalamnya ada keimanan dan maksiat, ada keimanan dan ada bid’ah, ada keimanan dan syubhat, maka wala kita tidak diberikan 100% dan tidak juga ditinggalkan 100%, yang diberikan wala’ 100% hanya kepada orang yang beriman dengan sempurna, akan tetapi terhadap orang yang beriman yang didalamnya masih tercampur amal yang shaleh dan amal yang tidak shaleh, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan 100%. Kita mencintai seseorang sesuai dengan kadar keimanan dan itiba’nya terhadap sunnah, dan kita benci sesuai dengan kadar penyimpangannya dari sunnah. Inilah yang digunakan alasan sebagian orang untuk membela dirinya dengan menghatasnamakan dien dengan mengatasnamakan agama dengan mengatasnamakan  sunnah.
Sekarang kita lihat contohnya dari Imam Ahmad, imam ahlu sunnah wal jama’ah, yang beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara yang lain, beliau disiksa di siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dimasukkan ke dalam penjara sementara darah masih menetes dari tubuhnya pada saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad untuk mengatakan “Al Quran Makhluk”, padahal Al Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala). Kita perhatikan belaiu, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas, belaiu marah bukan untuk hawa nafsunya akan tetapi marahnya karena Alloh Subhanallohu wa Ta’ala I. Belaiu mengatakan ”semua yang pernah membicarakanku meka mereka semua halal dan aku maafkan semua. Dan aku memaafkan Abu ishaq,  (Raja Muktasim yang telah memenjarakan dan menyiksa belaiu dengan siksaan yang berat).” dan kemudian beliau mengatakan “aku maafkan Abu Ishaq, aku melihat melihat firman AllohSubhanallohu wa Ta’ala, yang artinya:“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengampunimu?” (QS. An Nuur:22).
Tidakkah kita  melihat bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, Maha Pengampun lagi Maha Pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Alloh Subhanallohu wa Ta’alamemerintahkan hamba-hambanya untuk memberi maaf kepada orang lain. Rasullloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar untuk memafkan pada kisah tuduhan palsu pada ‘Aisyah RadhiAllohu ‘Anha yang dituduh oleh orang munafiqin melakukan perbuatan zina dengan salah seorang sahabat.
Apa manfaatnya bagi kita, Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? untuk memuaskan kepentingan kita dan membalas dendam kita?
Imam Ahmad setelah disiksa, tidak pernah membuka lagi catatan-catatan yang dulu ketika beliau disiksa. Beliau tidak ingin mengingat lagi orang-orang yang dahulu pernah terlibat terhadap penyiksaan beliau. Beliau tidak pernah mengingat lagi “Si fulan yang dulu mengejek saya , Si fulan yang dulu begini dan begini”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, beliau memaafkan semua orang-orang tersebut.
Contoh yang lain adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dianggap kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama pada zamannya. Beliau dimasukkan dari satu penjara ke penjara yang lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Kemudian setelah beliau keluar dari penjara beberapa ahlu bid’ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang meminta maaf kepada beliau.
Salah satu musuh beliau adalah seorang ulama dari madzhab maliki dengan nama Ibnu Makhluf. Ibnu Makhluf wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu Murid Ibnu Taimiyah yaitu Ibnu Qayyim mengetahui kematian Ibnu Makhluf. Kemudian Ibnu Qoyyim bersegera datang menemuai Ibnu Taimiyah menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, mari kita lihat reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika melihat muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan ‘Alhamdulillah’ maha suci Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya’? Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, Syaikhul Islam dengan musuh besarnya yaitu Ibnu Makhluf ketika Ibnu Makhluf meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti  yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang, begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kematian seseorang yang dibencinya sampai mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.
Syaikhul Islam memarahi Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, dan beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi  raaji’un“. Kemudian beliau langsung mendatangi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, “sesungguhnya sekarang status saya seperti bapak kalian”. “Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan mereka mendoakan Syaikul Islam.
Ini kita lihat musuh besarnya. Dan kita lihat kalau sesorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah pasti orang ini aqidahnya tidak benar. Tetapi ketika meningggal, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan  bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini? Siapa diantara kita yang bisa ketika musuhnya meninggal dia mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta’ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan yang kalian butuhkan melainkan saya akan memenuhi kebutuhan kalian? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu? Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi kepada musuh.
Sekarang kalau kita mau jujur, jangankan musuh,  kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti kalau ukhuwah kita jelek sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang bisa berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, coba adakah  diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan ‘saya akan memenuhi kebutuhan kalian.’
Betul Syaikul Islam mendatangi orang yang telah menfatwakan tentang kafirnya Syaikhul Islam. Artinya ia sangat mememusuhi Syaikul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid’ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersikap lebih besar dari itu artinya bukan orang yang berjiwa kerdil.
Ayyuhal Ikhwan, seandainya kita berakhlak dengan akhlak seperti ini tentu kita bisa banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) dengan perlakuan sebagaimana ayat-ayat yang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tegaskan bahwa ini adalah ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafiqin. Tidak boleh kita Istigfar untuk mereka, tidak boleh kita menyolatkan mereka, tidak boleh kita menguburkan mereka. Hukum-hukum itu (tidak boleh memintakan ampun, menyolatkan, dan mendatangi penguburannya), kita terapkan kepada orang yang tadi kita sebutkan.
Kadang-kadang kita bermuamalah dengan sebagian kaum muslimin dengan muamalahnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, muamalah dengan orang munafiqin. Artinya kita menjadi orang-orang yanag asyida’ alal Mu’minin, ‘orang yang sangat kasar kepada orang mukmin.’ Kita menjadi orang-orang yang sangat kasar kepada ahlu iman padahal Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati orang-orang mukmin dan para shabat yang bersana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang Asyida’ ‘alal kuffar, ruhamaa’u bainahum. Kita menjadi orang yang terbalik, kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa kemudian kepada orang-orang kafir tidak bersikap kasar.
Kita lihat bagaimana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang sudah aklaknya mulia sekali masih Alloh Subhanallohu wa Ta’ala  perintahkan untuk bersikap lembut. “Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”
Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bukan kepada yang lain, artiya juga menjadi pelajaran bagi yang lain. Jika saja Rasulshallallâhu ‘alaihi wa sallam berbuat kasar tentu   orang akan lari darinya apalagi bukan rasul. Yang Rasul ini banyak pendukungnya untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau dapat wahyu, beliau ma’sum dan beliau memiliki akhlak yang mulia, beliau ini dan itu, itu saja masih kemudian diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, sampai Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sampaikan firmanNya yang arinya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala(QS. Al Imran:159).
Sekarang mari kita lihat lagi contoh yang ketiga yakni dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika berhubungan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay ini adalah tokohnya kaum munafiqin di masa Rasulullohshallallâhu ‘alaihi wa sallam. Semua orang tahu bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, bagaimana sikapnya terhadap Islam, ketika dalam perang Muraysi’ dia mengatakan “perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah  ‘سَمِّنْ كَلْبُكَ يَأْكُلُكَ‘ “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar akan memakanmu.” Artinya ketika Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shabatnya kita berikan kesempatan mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang muanafiq yang bersamanya. Kemudian dia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Ini perkataan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka kepada Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, agar mereka jangan diberikan apapun dan agar mereka keluar dari Madinah.
Coba kita perhatikan ketika Abdullah bin Ubay ini meninggal apa yang dilakukan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Beliau mendatangi kuburnya, memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberikan kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan dengan nash, Rasulullah datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ini bukan orang munafiq biasa tapi ra’sul munafiqin, tetapi dia masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun kepada AllohSubhanallohu wa Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala untuk imamnya orang-orang munafiq, sampai turun firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang melarang Rasulshallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun. Artinya kita lihat kemuliaan jiwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita mungkin kita akan kemudian mengatakan “mampus, biar sekalian mati”, akan tetapi beliau memintakan ampun, baru setelah turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir, yang artinya:”Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka” (QS. At taubah:80).
Berkenaan dengan ayat ini beliau bersabda yang artinya, “Seandainya saya tahu kalau seandainya saya beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaiman sabda beliaushallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun libih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Kita lihat akhlak Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam  terhadap imamnya orang-orang munafiq, kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiAllohu ‘Anha, dia juga yang menuduh kehormatan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Coba kita lihat pada orang yang seperti ini beliau masih mau mendatangi kuburnya, kemudian memberikan kain kafan kemudian memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Tapi juga jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah  wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di depan. Artinya harus difahami aqidah wala’ wal bara’, mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’, bagaimana sikap Rasulullohshallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para pendahulu umat yang sholeh berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu kita. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain adalah dua hal yang harus dibedakan.
Dai tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini. Kalau dai seperti ini, merusaknya lebih besar daripada memberi manfaat. Mendoakan kejelekan pada Si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat Fulan, kemudian mencaci maki Fulan kemudian menyatakan bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang yang seperti ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri, baru memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi merusaknya lebih besar daripada memberikan kemaslahatan bagi orang lain. Karena dia sendiri belum berhasil memperbaiki dirinya, memperbaiki jiwanya sehingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih susah. Artinya berurusan dan bermasalah dengan Si Fulan kemudian bermusuhan dengan orang lain dan seterusnya.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, dan sakitnya ini bukan dirumah sakit tetapi sakitnya di penjara, beliau dilarang melakukan semua aktivitas sampai kemudian tidak diberikan pena untuk menulis, dilarang diberikan pena, walau demikian beliau tetap menulis memberikan fatwa kepada kaum muslimin dengan mengunakan arang sampai akhirnya beliau dilarang untuk menulis, segala aktivitasnya diawasi dan disampaikan oleh ahlu bid’ah kepada penguasa.
Suatu ketika sebagian orang yang menjadi ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara kemudian meminta maaf kepada Syaikhul Islam, karena mereka menjadi sebab Syaikul Islam masuk penjara. Kita lihat bagaimana beliau berjiwa besar, beliau mengatakan “إِنِّي أَحْلَلْتُكَ  ” ‘saya telah maafkan Anda, saya juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya.’ Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, orang-orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara beliau maafkan semua.
Kisah yang lain yang menceritakan tentang Syaikhul Islam adalah ketika Raja An-Nashir tadi pemerintahannya berhasil digulingkan oleh Raja Al Mudhaffar. Ulama ulama yang tadinya bersama Raja Nashir ini bergabung dengan Raja Al Mudhaffar. Kita lihat bagaimana orang-orang yang cari keuntungan, cari selamat, kemudian bergabung bersama Raja Al Mudhaffar. Ternyata tidak beberapa lama kemudian Raja Nashir berhasil merebut kembali kekuasaannya. Ulama-ulama yang tadi, para Qodhi dan para Fuqaha tadi dihadapkan kepada raja Nashir.
Bisa dibayangkan tadinya membela sekarang menjadi musuh, sekarang begitu berkuasa lagi dipanggail semua, dihadapkan kehadapannya. Wallahu A’lam
Ditulis dan Dikontribusikan oleh Al-Akh Suparlin Abdurrahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar